 Melbourne, Never Sleep City...
April 16, 2007 Tibalah di kota Melbourne yang terlihat sangat indah dari udara pada pukul 10.10 am. Kami telah dijemput oleh Mr. Philip Knight, penanggung jawab program Exchange kami di Melbourne, yang juga salah satu pewawancara dalam tes interview September tahun lalu di Paramadina Jakarta.
Pertama menginjakkan kaki di Melbourne, kami disambut dengan udara yang sangat dingin. Australia saat ini sedang Autumn (musim gugur), baru akan masuk musim dingin yang diperkirakan jatuh pada bulan Juni (Bagaimana dinginnya Juni nanti, di musim gugur saja kami sudah sangat kedinginan!!!).
Perjalanan dengan mobil dari bandara menuju penginapan memakan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang jalan yang kami temukan toko-toko dan pabrik yang sama sekali tidak menjulang tinggi seperti Jakarta. Hanya, kami tidak menemukan pohon-pohon hijau seperti di Indonesia. Pak Philip menjelaskan bahwa Australia saat ini memang sedang mengalami kekeringan yang cukup mengancam. Sekitar sepuluh tahun terakhir, kekeringan menjadi masalah serius bagi pemerintah Australia. Tak heran jika harga-harga makanan, terutama sayuran dan buah-buahan segar selalu naik tajam tiap tahun. Tidak itu saja, kebijakan untuk memanfaatkan airpun diatur sedemikian rupa. Mencuci mobil dan menyirami tanaman hanya diperbolehkan sekali seminggu, yakni hanya diakhir pekan, atau sabtu malam—tidak hanya di Melbourne kebijakan ini diterapkan, Canberra juga mendapat kebijakan yang sama ketika kami berbincang dengan guide kami Mr. John Monfries di Canberra di perjalanan kami selanjutnya. Yang kami salut adalah kepatuhan akan peraturan sangat melekat pada warga Australia. Saya tidak bisa membayangkan apakah peraturan seperti itu juga akan ditaati oleh orang-orang di Indonesia jika kondisi kemarau yang sama dialami Indonesia.
Lagi-lagi, kami hanya mengangguk salut lagi ketika pak Philip menjelaskan bagaimana hukum sangat kuat dan menindak siapapun yang melanggar di Australia. Pak John menjelaskan bahwa tetangga kanan kiri rumah kita tidak bisa seenaknya diajak kongkalikong dengan kita, tetangga bisa menjadi polisi hukum bagi kita yang melanggar. Contoh ini sebagaimana dialami tetangganya yang tiba-tiba didatangi polisi dan kena denda besar karena menyiram tanaman di luar waktu yang ditentukan. Tentu saja, tetangganyalah yang melaporkan.
Waktu telah menunjukkan sekitar jam 12 ketika akhirnya kita sampai di Unilodge Student Apartement, Apartemen mahasiswa RMIT yang terlerak di depan National Library of Victoria, semacam perpustakaan pemerintah (mungkin kita biasanya menyebutnya Pepursda—namun, jangan samakan perpusda sana dengan yang ini, karena sama sekali sangat berbeda, fasilitas apalagi jumlah bukunya. Segera saja kami menuju kamar kami yang terletak di lantai 9 no 720. Sebuah ruangan dengan 3 kamar tidur, satu kamar mandi, kursi tamu+TV, dan dapur kecil dengan fasilitas lengkap serta meja makan. Schedule kami yang pertama pukul 19.30 menghadiri Interfaith Women Conference, namun pak Philip berjanji akan mengajak kami keluar pukul 3 pm mengenal Melbourne di sore hari. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Pak Philip telah menunggu kami di lobby. Maklum, tanpa kunci di tangan, siapapun tidak bisa mengakses pintu masuk apartemen, apalagi kamar. Bahkan, pada malam hari pintu masuk ke lobi yang berada paling luar gedungpun otomatis terkunci.
Berjalan sedikit ke perempatan kampus RMIT, kami menunggu trams yang akan membawa kami berkeliling Melbourne. Beberapa trams lewat, pak Philip belum juga mencoba naik. Hingga berhentilah sebuah trams merah tua bertuliskan City Central dan melewati 16 universitas. Ternyata trams ini adalah trams fasilitas umum alias disediakan pemerintah dengan cuma-cuma alias gratis. Hampir satu jam kami melihat-lihat indahnya sore Melbourne di atas trams. Kami melewati Yarra River, stasiun Radio SBS, dan masih banyak lagi. Hingga sampailah kami di temmpat kami naik di perempatan RMIT. Bergegas kami kembali ke apartemen, karena jam telah menunjukkan pukul 5.30 pm, dan kami harus bersiap-siap ke acara pertama kami nanti malam.
Waktu menunjukkan pukul 6.30 pm, ketika telepon di kamar kami tiba-tiba berdering. Di seberang terdengar suara perempuan dan memperkenalkan diri bernama Brynna, guide kami malam ini. Ia telah menanti kami di lobi. Lima menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di lobi dari kamar kami. Berempat kami siap mendatangi pertemuan pertama kami. Sembari menanti trams yang datang, Malam ini kita akan menaiki trams yang tidak lagi gratis. Untung saja, sebelum berpisah sore tadi, pak Philip telah membagi-bagikan Metcard (tiket trams) yang sebagian telah terpakai kepada kami. Sialnya, saya kelupaan tidak membawa tiketnya malam ini. Tiket berada di saku jaket, sementara malam ini saya telah berganti jas. It’s OK, kata Brynna. Ia mencari-cari recehan di tasnya, tapi tak ketemu. Aku kemudian memberinya uang 50 dolar saya untuk membayar tiket. Brynna berkata kalau uang 50 dolar terlalu besar untuk membayar tiket yang hanya 3 dolar. Akhirnya, Brynna memasukkan metcardnya kembali. Dengan bahasa Indonesianya yang fasih, dia berucap, “kartuku ini sudah expired (metcard hanya bisa digunakan 10 kali, dan ketika Brynna memasukkan metcardnya yang telah terisi 10, otomatis metcard langsung tertulis EXPIRED). Jadi, kalau nanti ada yang mengontrol, bilang aja kamu gak tahu kalo kartu kamu dah expired.” Ohya, Brynna adalah warganegara Australia, namun ia menghabiskan masa kecilnya di Jember, mengikuti ibunya yang guru bahasa Inggris di sebuah universitas. Namun, meski bahasa Indonesianya fasih, Brynna mengatakan lebih enak memakai bahasa Inggris kalau di Australia. Tapi, untuk beberapa hal yang bersifat rahasia, seperti di trams tadi, Brynna akan bicara pada kami dengan bahasa Indonesia. Biar gak ketahuan! Brynna telah menikah dengan Rowan, Indo-Australia, yang kini menetap di Asutralia. Ayah Australia dan ibu Padang. Namun ia menghabiskan hampir separuh hidup pertamanya di Indonesia, hingga ia kuliah di The University of Melbourne sampai sekarang, bekerja bersama Brynna sebagai asisten Abdullah Saeed.
Kami naik trams hanya sekitar 10 menit, kemudian diteruskan dengan berjalan kaki hampir setengah jam, karena trams tidak melewati tempat konferensi. Lumayan pegel juga kaki ini. Di tambah lagi, model berjalan orang Australia yang seperti selalu diburu waktu. Jadilah, kami berjalan ala Brynna yang cepat sambil terengah-engah. Hingga sampailah kami di sebuah rumah kecil bernama “The Grove Wholistic Centre for Spirituality” di 263 Nicholson St, East Brunswick. Seorang perempuan Jerman berjilbab yang kemudian kami tahu bernama (kok lupa!) membukakan pintu setelah kami menekan bel dua kali. Sepi langsung menyambut kami. Benarkah ada konferensi perempuan? Hingga kami dibawa masuk ke ruang paling belakang. Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar dan telah dipenuhi oleh perempuan. Mayoritas perempuan tua, kami hanya menemukan 2 perempuan muda, yang satu berjilbab bernama Daaliyah asal Pakistan dan satunya perempuan sangat muda asal Indonesia bernama Nadia Asikin yang tengah mengambil kuliah S1 di Universitas Melbourne.
Bayangan kami akan sebuah konferensi formal di sebuah gedung besar ternyata salah. Pertemuan saat ini di ruangan yang tak terlalu besar dan dihadiri mayoritas perempuan-perempuan tua. Namun, inilah yang kemudian membuatku sangat acungkan jempol. Pada akhirnya, aku membandingkan pertemuan ini layaknya pengajian ibu-ibu di daerahku atau bahkan di Indonesia. Persamaannya pada anggota dan ketidakformalan tadi. Namun bedanya, sangat banyak. Pertama, peserta berasal dari 3 agama (Abrahamic Religon—Christianity, Islam and Judaism). Kedua, seluruh peserta adalah peserta aktif. Tidak seperti pengajian ibu-ibu di desa yang hanya mendengarkan ceramah dari sang ustad. Pengajian ini, mewajibkan seluruh peserta untuk mempresentasikan hasil bacaan mereka dari buku-buku yang mereka baca di rumah, jumlah bukunya suka-suka. Ketiga, topik yang dibicarakan bebas sesuai dengan buku yang dibaca. Mulai topik-topik berat seperti buku berjudul New Under the Sun: Jewish Australians on Religion, Politics and Culture, edited by Michael Fagenblat, Melanie Landau, and Nathan Cuoldi. Atau buku-buku tentang powerful women seperti Strong Women Stories: Native Vision and Community Survival, Edited by Kim Anderson and Donita Lawrence. Buku yang berbicara tentang seorang laki-laki yang mencari makna dalam hidupnya Man’s search for Meaning karangan Victor E. Frankl, atau yang berbicara tentang pengalaman keberagamaan seperti I believe in…Christian, Jewish and Muslim Young People Speak about their Faith, edited by Paul Gaskins, atau sedikit normatif seperti The Interfaith Prayer Book. Atau bahkan buku-buku ringan pendorong motivasi seperti Today I will…100 ways to make your life calm and creative. Semua antusias membagi hasil bacaan mereka di forum. Setelah semua selesai membagi hasil bacaan mereka, diskusi—lebih tepatnya bincang-bincang santai—dilanjutkan dengan saling bercerita tentang joke-joke yang popular di agamanya masing-masing. Di akhir acara, kita disuguhi makanan-makanan kecil khas Australia yang super legit dan buah-buahan. Nyam…nyam..nyam…
Jam menunjukkan pukul 11.30 pm ketika kami sadar perut belum terisi sejak lunch tadi siang. Padahal waktu dinner harusnya pukul 7 pm tadi. So, setelah berpamitan dengan tuan rumah akhirnya kami berjalan kaki menuju rumah Brynna untuk kemudian bermobil kita menuju restoran India untuk dinner. Ohya, sepanjang perjalanan dengan jalan kaki tadi menuju rumah Brynna, kita disuguhi pemandnagan yang gak bakal ditemui di Indonesia. Bagaimana nggak, sepanjang jalan yang kami lalui, mobil-mobil, dari lumayan kinclong sampai yang biasa berjejer rapi di luar rumah. Kebayang kalo itu terjadi di Indonesia, sudah digondol maling kali ya…(lihat aja di infotainment, gimana banyak artis yang mobilnya ilang di garasi yang terkunci???). Nah, habis dari restoran India, kita langsung balik ke apartement untuk istirahat menunggu hari esok di Melbourne… with love, yunes : 9:37 PM
2comment
yun, ndi oleh2e..oleh2e niayah aja wis tekan kok, sandal hawai hehe
Mbak Yun...ga cuma Aussie yg banyak mobil berjejeran rapi tak tersentuh pencuri.Egypt jg gitu!Tapi Aussie kaya'nya lebih keren dibanding Egypt. Hehe...baca tulisan mbak Yun ttg Aussie udah bisa ngebayangin. Pasti indah !!!
|