-
...................................................

Tuesday, July 31, 2007
Malem Mingguan di Monas

Monumen Nasional (Monas) berdiri di lapangan Monas, Jakarta Pusat, di areal seluas 80 hektar untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Tugu yang dibangun di era Sukarno ini diarsiteki oleh Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. R. Rooseno. Di puncak Monas terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg.

Menghabiskan weekend di Jakarta emang bikin bete abis. Palagi Cuma nonton TV di kos yang puanas. So, solusi satu-satunya emang cari the best and interesting places di Jakarta. Nah, kali ini Monaslah pilihannya. Malam minggu di Monas emang ruaaarrr biasa. Sayang, kita nggak bisa naik ke ke atas tugu, karena kita dateng kesorean. Membayangkan melihat Jakarta dari atas monas pasti bakal amazing!! Tapi, masih ratusan hari aku di Jakarta…kapan-kapan lagi dech…

Monas emang menjadi salah satu ruang publik yang menjadi pilihan banyak keluarga di Jakarta. Di samping daya pikat tugu yang setinggi 150 meter ini dan cahaya kekuningan emasnya+lampu warna-warni yang memperindah badan Monas, public space yang sangat luas juga menjadi pilihan menghabiskan liburan anak yang murah meriah. Lihat aja, hampir 70 persen yang datang ke tempat ini adalah parent dan anak-anak mereka, 20 persen pasangan yang ‘most of them are romantic’ dan 10 persen adalah orang-orang yang sengaja cari tempat olahraga gratis, include jomblo2 yang kayaknya emang cari pasangan!! Termasuk om Bel, bener gak ya???

Memandang Monas membuat kita teringat akan ide besar Sukarno yang penuh sense of Art. Di bagian Jakarta yang lain kita bisa melihat Gelora Bung Karno, ide besar Sukarno yang lain, yang termasuk bangunan super besar. Di awal berdirinya, gedung ini bisa menampung sekitar 250 ribu penonton (dengan bangku-bangku kayu panjang). Namun setelah ditata sedikit rapi, gelora ini mampu menampung sekitar 80 ribu orang. “Lebih besar dari stadion baru MU (eh bener MU ya??)yang hanya mampu menampung sekitar 40 ribu penonton,” said Om Bel.

Monas memang pilihan tepat bagi siapapun yang tinggal di Jakarta untuk sedikit menikmati keluasan sebuah sudut Jakarta yang di banyak sudut lainnya selalu saja dipenuhi dengan kesumpekan!! Ohya, bagi anda yang suka berkemah, Monas juga bisa jadi salah satu pilihan. Siapkan tent (tenda), kasur kecil, lampu, dan buku-buku kesukaan anda, then dirikan tent anda di bawah pohon-pohon rindang ditaman. Asal anda merasa tak terganggu dengan banyaknya kemesraan di bawah pohon-pohon di sekitar anda, anda pasti akan mendapati kenikmatan berkemah laksana di Baturaden (bo’ong banget ya???) He..he..he...bukan mengada-ada, ini benar-benar terjadi!! Aneh-aneh aja ya orang Jakarta!!!

with love, yunes : 1:07 AM

1comment

emang bener di monas bisa kemping ya mbak?

duh jadi pengen nyoba ama keluarga deh...

dari: Blogger Admin IndonesiaOutlook;--- October 9, 2007 at 6:36 PM

Post a Comment



Sunday, July 29, 2007
Pendadaran Sebulan lalu...

28 Juni kemaren, tepat 1 bulan paska aku pendadaran tesis. PRnya tentu aja ada beberapa masukan untuk penyempurnaan alias revisi. Tapi, alamak...ampe sekarang belum kepegang blaz. Padahal, aturan yang berlaku di CRCS, 2 bulan sejak pendadaran revisi belum kelar, harus melakukan pendadaran ulang!!! Capek dech!!!
Ohya, nich abstract tesisku kemaren....

ABSTRACT

The focus of this study is about four types of women’s veil in Yogyakarta. The differences of veil types are viewed from the eyes of women through their perceptions of their bodies. It founds the fact that their choices of veil types have no one meaning, but they have various particular meaning from women.
The leading questions are: how is the body discourse in the Muslim feminists view? How are the body’s meaning in the types of veiled women? How are the consequences that women experience and receive from each types of veil in their public space? This research uses the feminist ethnography that has aims to: (1) record women life and activity, (2) understands women’s experience from women’s viewpoint, and (3) conceptualise women’s behaviour as the expression of the social context. The data taken from in-depth interview, observation, and literature study to express four types of veiled women’s perspectives on their meaning of jilbab in the differences of forms. This research is grounded by my awareness as a veiled women who is encouraged to understand the motivation of women’s veil choices in the glow of jilbab practices amidst Muslimah from themselves.

The women’s perceptions on their bodies were affected by many factors outside them. The religious doctrines that are transmitted through the conservative and feminist thinkers, then they are extended through the books or ustadzs (religious teachers) and the speakers in the seminars shape a new awareness and then are applied in their jilbab practices in their life. The development of jilbab models that are presented through mass media also the Muslimah clothes stores inspired several women to choose certain model of jilbab.
The results are found that there are four models of jilbab around the Muslim Women: Cadar, Jilbaber, Tradition Jilbab, and Jilbab Gaul (Funky jilbab). Each of them has the uniqueness of shape and meaning behind ther jilbab practices. Jilbab is not only understood as a conversion from the bad past to the better life as Brenner said, but the choices of jilbab models are also understood as a tradition, following the mode trend, and performance appearance. The differences of perception emerged the differences of the consequences that have to be accepted by women, such as the hiding body in the particular jilbab, the choices of activity spaces, the differences of mahram meaning and the identification of each women group.
Jilbab, whatever its model, is a choice of women on their body. However, it should not make women limit their existence in their social interaction, access of opportunity in the public space, and agree to the stereotype of women bodies in their social life, and then make their voices unheard.

Key words: perception, women, the body, jilbab, public space, feminist ethnography

with love, yunes : 10:31 PM

0comment

Post a Comment



Tuesday, July 24, 2007
Margaret Thatcher; The Iron Lady!

Beberapa hari lalu, aku dan temen sekelas berdiskusi tentang seorang Perdana Menteri pertama di Eropa, Margaret Thatcher. Dia menjadi Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979. Namun, beberapa kebijakannya dianggap tidak populer di mata rakyatnya….

Awal Hidupnya
Ia terlahir di sebuah toko di sebuah kota kecil di Inggris, Grantham. Ayahnya, Alfred Roberts adalah seorang grocer (pedagang toko kelontong). Ia bekerja keras hanya untuk sedikit uang. Ia kuliah chemistry di Oxford University. Pada tahun 1951, dia menikah dengan Denis Thathcer, seorang pebisnis kaya. Ia melahirkan dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. Cinta dalam hidupnya adalah politik. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk tertarik di bidang lain. Ia mengaku hanya butuh tidur 4 jam tiap malamnya.

Kehidupan selanjutnya
Dia menjadi politikus pada tahun 1959, pemimpin Partai Konservatif di tahun 1975, dan menjadi Perdana Menteri Inggris 4 tahun setelah itu. Banyak orang takut padanya hingga menamainya sang ‘Perempuan Besi’. Pada tahun 1984, beberapa teroris Irlandia mengebom hotelnya, namun ia selamat. Ia menjadi Perdana Menteri selama 11 tahun. Hingga ia akhirnya berhenti, meskipun sebenarnya ia tidak menginginkannya. Airmatanya pun mengalir ketika ia meninggalkan 10 Downing Street, dimana kantornya berada.



Kebijakan Kontroversialnya
Pasca Perang Dunia ke-2, banyak anak-anak korban perang di Inggris mengalami malnutrisi. Kebijakan diambil perdana menteri pada waktu itu dengan membagikan secara gratis segelas susu tiap harinya untuk anak-anak miskin melalui sekolah. Tak lain, pemberian susu ini untuk meningkatkan kesehatan anak-anak korban perang. Namun, ketika Margaret menjabat, ia memutuskan untuk memberhentikan pemberian susu tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut sama sekali tak berguna.
Kebijakan keduanya adalah memberhentikan biaya hidup bagi para pengangguran. Sebelumnya, seorang remaja yang telah lulus SMA dan belum mendapatkan pekerjaan, selama 2 tahun ia menjadi tanggungan negara. Namun, setelah Margaret menjabat, ia mengharuskan remaja lulusan SMA untuk bekerja atau jika tidak, menjadi tanggungan orang tua.
Akibat kebijakan kontroversialnya, sekitar hampir 60 ribu orang saat ini tidur di jalan, karena mereka jobless dan have no money!!!
So?!!What do you think about Margaret???

with love, yunes : 9:31 PM

1comment

trus, menurut kamu gimana Yun?

dari: Blogger isma;--- July 26, 2007 at 7:46 PM

Post a Comment



Wednesday, July 18, 2007
My Nephew Mulai Cekolah

Minggu ini adalah minggu pertama ponakanku bersekolah. Pengin juga sich lihat dia pake seragam, gendong tas, dan mulai meninggalkan rumah, sendiri! (biasanya, aktifitas ponakanku yang satu ini di pagi hari adalah buat repot orang serumah; yah minta ikut ke pasar lah, menyelinap keluar rumah lah, pokoknya da aja ulahnya! Capek dech!!). Yup, kakakku memasukkannya di TK Annida yang terletak di komplek perumahan Ketapang Indah, sedikit jauh dari rumahku. Bukan apa-apa, alesannya cuma gak ada yang bisa nganter dia berangkat sekolah aja. Ayahnya berangkat kerja pukul 7, eyang kakung dan putrinya pagi buta dah berangkat ke pasar, ibunya disibukkan ma sikecil Nayla yang baru berusia 7 bulan. Nah lo! so, ayahnya akhirnya memilih TK yang ada fasilitas antar jemputnya.


Sebenarnya, di desaku ada 3 TK yang cukup bagus, tapi letaknya di desa sebelah. Pernah suatu ketika kakakku bilang mo menyekolahkan si Fikri (my nephew) ke TK Annida. Tapi ketika uyutnya mendengar, dia nggak setuju. Coz, uyut bilang tar Fikri gak ada temennya di sekolah, karena temen2 kecilnya pada bersekolah di TK di desaku. Uyut pun berjanji mo nganter dia tiap hari ke sekolah, dengan berjalan kaki tentunya. Tapi, tiba-tiba ibu bilang lewat telepon kalo Fikri jadinya sekolah di TK Annida. Aku sudah menduga, pasti Uyut dah nggak sanggup jaga Fikri. Asal tahu aja, ponakanku satu ini emang sangat aktif, aktifitasnya gak ada jedanya, kecuali tidur. Bisa kebayangkan gimana si Uyut yang sudah sangat sepuh bakal terengah-engah menjaga Fikri, he..he..he..


Dua ponakanku ini emang obat paling mujarab kala aku bete. Dengan lihat foto mereka sedang senyum aja, bakal ilang dech beteku. So, aku masukkin aja banyak foto mereka di komputerku. Cuma akhir-akhir ini mereka gak lagi bisa buat penghibur aku. Pasalnya ya itu, datangnya 'lilik' baru (lilik sebutan ponakanku buat 'bulek & pakleknya, so kata ini jauh dari bias jender kan.., he..)Siapa lagi kalo bukan lilik Zen. Kalo dulu hampir tiap minggu Fikri telepon aku, sekarang sudah berpaling. Sekarang, Fikri tetap suka telepon, tapi bukan nelepon aku tapi lilik zen. Bete nggak sich...

with love, yunes : 6:34 PM

0comment

Post a Comment



Monday, July 16, 2007
Ketika Ken Dedes Terlahir Kembali

Pernahkah terpikir bahwa Ken Dedes akan kembali menjelma ke dunia saat ini? Menitis pada seorang perempuan dan mengalami banyak tragedi kehidupan seperti dirinya? Itulah yang ingin diceritakan Dewi Anggraini dalam bukunya "Parallel Forces". Semalam aku selesai membaca buku terbitan salah satu penerbit Australlia setebal 197 halaman ini, dengan harapan ingin kembali membaca lanjutannya (tapi tentu saja tak ada lanjutannya, karena begitulah novel, ia membuat kita merenda sendiri apa yang selanjutnya akan terjadi...so, suka-suka kitalah..)

Terlahir dari seorang artis berkebangsaan Perancis, Claudine Dubois, dan Ayah Indonesia, Hardoyo, dua saudara kembar Amyrra dan Amyrta tumbuh menjadi dua orang gadis cilik yang pintar. Namun, Amyrra terlihat lebih lincah dan menggemaskan, sementara Amyrta tumbuh dalam bayang-bayang sang saudara kembar, ia menjadi pendiam dan sedikit introvert. Dalam setiap mereka bermain, Amyrra selalu menjadi 'queen', sementara Amyrta selalu rela menjadi 'dayang'nya. Amyrta mengakui, bahwa aura Amyrra sebagai ratu telah terpancar sejak ia masih kecil. Bagaimana bocah-bocah sepermainan mereka selalu tunduk dan menuruti setiap kata yang keluar dari bibir kecil Amyrra. Hingga remaja, Amyrta tetap setia menjadi 'dayang' bagi Amyrra. Bahkan, Amyrta tak dapat berbuat apa-apa ketika seorang laki-laki teman sekolahnnya yang ia suka, berpaling pada sudara kembarnya saat pertemuan pertama mereka. Tragisnya, Amyrra meninggalkan laki-laki itu.

Aura Amyrra semakin tampak, karena ia memiliki the sixth sense, seperti ibunya. Sempat ketika remaja, dengan jitu ia memprediksi kawannya tentang dekatnya kematiannya. Begitulah Amyrra, ia tak hanya cantik, periang, tapi juga penuh misteri. Hingga semuanya berubah, ketika bertiga, Amyrra, Amyrta dan Claudine berhenti di sebuah warung di pinggiran kota Bandung. Seorang ibu tua bernama Bi Iyah menyatakan sebuah prediksi yang membuat hidup Amyrra berubah. Bi Iyah tak dapat menolak kenyataan dihadapannya, bahwa seorang ratu telah terlahir kembali. Dengan mimik serius, ia mengatakan pada mereka bahwa gadis kecil ini (Amyrra) adalah titisan Ken Dedes yang akan memiliki alur hidup sepertinya. Claudine juga Amyrta menganggapnya angin lalu, sebuah prediksi dari perempuan tua yang irrasional dan juga un-educated. Tapi Amyrra menganggapnya lain, ia meyakininya....(bersambung)

with love, yunes : 9:05 PM

2comment

amyrra titisan ken dedes...? perasaan bundaku belum pernah menitis kesiapapun. andaikata klo komunikasi itupun hanya orang tertentu. but anyway... i like ur story. terutama tentang bunda kendedes...

dari: Anonymous Anonymous;--- March 10, 2009 at 6:23 AM

boz, beli novelnya dmna boz?
ane mw beli

dari: Blogger sakti;--- August 8, 2013 at 10:45 PM

Post a Comment



Sunday, July 15, 2007
Relax bentar ke Bogor
Kebun Raya Bogor menjadi tujuan kami--aku, Belek, n Udin--menghabiskan hari terakhir di weekend mingggu ini. Bertiga kami naik KRL jurusan Bogor (bisa kebayangkan..gimana KRL...).Yup, kami sempat juga berdesak-desakan sekedar untuk bisa bersantai di Kebun Raya Bogor. Kata Belek, di KRL lah kita bisa tahu kehidupan sebenarnya orang-orang Jakarta...Satu sisi, kita emang dah kadung disuguhi kehidupan Jakarta yang kayak mimpi itu...

Sekitar 40 menit kita sampai di stasiun Bogor, stasiun terakhir untuk KRL. Dengan naik satu angkot lagi sekitar 15 menit, sampailah kita di Kebun Raya Bogor (KRB). Bayanganku akan KRB yang indah, sejuk, bersih tidak sepenuhnya benar. Di sana sini aku lihat banyak sampah. Bahkan kemaren, Bogor nampaknya sedikit panas dari biasanya (ternyata ini juga diamini teacher englishku yang tinggal di Bogor). Namun, dibanding Jakarta, Bogor memang lebih nice. Tapi tetep aja, kemacetan, lalu lintas yang sangat tidak teratur nampaknya juga menjadi problem tersendiri bagi Bogor...(bahkan, kami sempat hampir kena tipu tarif angkot pas menuju stasiun untuk pulang, akrena sepanjang perjalanan kami memang lebih memilih untuk berbicara dnegan bahwsa Jawa, kangen bo!!!)

Tiket @Rp 5000 telah di tangan kami. Biasa, karena Minggu tarif tiket tidak seperti biasanya. di hari biasa, tiket hanya sebesar Rp 3500. Sedikit masuk dari pintu gerbang, kami disuguhi pemandangan pohon-pohon besar (namanya aja kebun raya...) di tengah menjulangnya pohon dan rimbunnya dedaunan, kami dapati sebuah bangunan kecil putih bertulis "Lady Raffles Memorial". Yah, sebuah bangunan putih melambangkan kesucian cinta (alah!) yang dibangun meneer raffles khusus untuk mendiang isterinya yang mangkat akibat virus malaria. Oh..so sweet!!!

Bertiga kami menyusuri jalan2 teduh dengan beragam jenis pohon, species asli Indonesia juga luar negeri. Sepanjang perjalanan kami tidak saja disuguhi betapa 'perkasa'nya pohon2 itu tumbuh, betapa teduhnya kami terlindungi rimbunnya daun, tapi juga betapa banyaknya 'keperkasaan dan keteduhan' di balik rimbunnya pepohonan. Ha..ha..ha..Bahkan, pada akhirnya kami menamakan perjalanan kami "LO" kepanjangan dari Love Observer!!!!

Kebun Raya Bogor memang teduh (aku sangat selektif menggunakan kata indah, karena bagiku KRB belum bisa dikatakan indah di mataku). Ia memang menyejukkan, meneduhkan, dan cukup untuk menghilang sejenak dari kepenatan di Ibukota. Oh, betapa para 'meneer2' itu memiliki kepekaan dalam desain hunian. Bagaimana nggak, KRB yang merupakan halaman belakang Istana Bogor berdiri di atas tanah seluas ratusan hektar (kayaknya sich..aku belum tahu apsti luasnya...mungkin ribuan hektar ya..). Aku bisa banyangkan, bagaimana di tengah kepenatan para meneer menduduki kota Bogor, mereka memeiliki cukup tempat untuk relaksasi.

Oh, betapa kita selalu saja dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa kita selalu saja memanfaatkan apa yang telah mereka buat untuk kita, tapi kita selalu saja tak bisa merawatnya...
Sekali-kali, tak salah kiranya kalo mencoba berlibur ke KRB seperti kami...Setidaknya, minimal sebagai LO, kita bakal dapet sebuah 'realitas dan motif' baru bagaimana anak muda Bogor (mungkin juga ada dari kota lain) menghabiskan waktu senggang mereka..."love was observed!!!"

with love, yunes : 9:54 PM

0comment

Post a Comment



Friday, July 13, 2007
Arisan Cah-cah Jogja

Semalam aku habiskan waktu di Taman Ismail MArzuki (TIM). Awalnya aku nggak menyangka bakal bertemu banyak orang-ornag Jogja. Belek mengajakku untuk dinner bareng Opik, Suraji, dan Udin. Agendanya Farewell Party-nya Udin yang Selasa besok balik ke Jogja dan secepatnyaakan terbang ke Belanda. Pukul 8.30 kita sampe di TIM. Malam itu TIM sangat ramai karena sedang berlangsung acara musik reguler-nya Cak Nun. Sembari menunggu teman2 datang, kami berbaur dengan para penonton. Tak disangka tak dinyana, muncul sosok Zila (anak Arena angkatan Rina dan Awin) dan Jannah (teman Persma Pendopo UST Jogja yang kini bekerja sebagai wartawan infotainment Ekspresso ANTV). Zila mengaku sedang main di Jakarta. Sementara ini ia belum mendapatkan pekerjaan yang diidamkannya.

Sms berbunyi, temen2 lain telah menungggu di lesehan dekat pintu masuk TIM. Tidak ada acara Farewell Party seperti yang Belek janjikan. Malah, aku bertemu dengan banyak temen2 Persma Jogja juga daerah lain yang kini sedang merenda mimpi di Jakarta. Sebutlah Opik yang saat ini bekerja di PBHI, Suraji yang di P3M, Taqim di Radio 68H, dan masih banyak kawan lainnya.

Yah, ceritanya reuninan kawan lama. Apa juga Arisan? tentu saja tidak. Arisan hanyalah salah satu usul dari temen2 di Jakarta buat wadah mereka bertemu. Namun entahlah, kayaknya masih jauh untuk disepakati. Yah, intinya kita hanya temu kangen aja sambil tak lupa men-jawa-kan lidah mereka yang biasa sok-sok Jakarta, he..he..he..

Lagi-lagi Jakarta memang the right place bagi mereka yang tak terwadahi di tempat asal mereka. Inilah yang aku tangkap dari pembicaraanku dengan Belek pada akhirnya. Beralasan, karena beberapanya tercetak di Jogja sebagai orang-ornag muda progresif yang pasti bervisi maju kedepan. So, ketika sawah-sawah, lingkungan, dan orang-orang di desa mereka tak lagi berbanding lurus dengan keprogresifan mereka, Jakartalah yang nampaknya bisa membuka tangan bagi mereka....

Sebagai orang lokal (he..he..he..) aku tentu sangat gembira dengan apa yang telah kawan-kawan raih selama ini. Mereka tidak hanya menunjukkan kegigihan mereka dalam mengurai dan membumikan mimpi-mimpi mereka, namun juga bagimana menggerakkan kaki dan tangan mereka dengan power yang mereka punya (alah!)--lebih lanjut baca "The Power of Dream" di blognya Maftuch!!--Namun, di tengah malam menjelang tidurku, aku sampai pada satu kegelisahan (meminjam istilahnya Budi!!!he..he..he..), jika aku, kamu, dan mereka berlari menghindar karena ketidak'berbanding lurus'nya kita dengan mereka, so...(walah..abot tenan!!!!)

with love, yunes : 9:17 PM

0comment

Post a Comment



Thursday, July 12, 2007
Mangayuh Bagyo Sang Budayawan Arena
Hari Minggu lalu aku bertandang ke rumah kontrakan Budi Oza-Eva. Ceritanya Mangayuh Bagyo dengan kelahiran putra pertama mereka yang diberinama "Gays....Garodea(wah dah lupa tuch, abis pilihan diksinya sastra kelas tinggi sich, he..). Bersama Belek kususuri jalan-jalan berpolusi di Jakarta. Untunglah karena Minggu, jalanan tidak begitu ramai. Setengah jam dari Kuningan, kita sampailah di rumah Budi di Kebayoran Lama.

Melihat pertama kali BUdi setelah sekian lama tak bersua membuat hati benar-benar gembira. Tentu saja, Budi yang saat itu didepanku, benar-benar bukan sosok Budi yang aku kenal sebelumnya...Coba kita ingat-ingat bareng; Budi yang kita kenal dulu adalah Budi yang (meminjam istilahnya Belek) " sosok yang penuh refleksi, kritikus multi-aspek kehidupan, dan pemikir kelas berat", atau secara fisik sebagai Budi yang kurus, jarang tersenyyum lepas, dan seolah selalu membawa beban berat di kepalanya. Belek bercerita, ada satu ungkapan yang hingga kini masih terngiang di telinganya setiap kali ketemu Oza adalah "Pandai-pandailah Merawat Kegelisahan, Karena Tanpa Kegelisahan kkita Bukan Apa-apa Lagi." Wah, abot...tenan tho..!. Mungkin temen2 juga sering mendengarnya...

Tapi, Budi yang ada dihadapanku hari itu adalah Budi yang sama sekali berbeda. Budi yang segar, selalu tersenyum, sehat='berbobot', dan sellalu berbicara tentang hal-hal 'ringan'. Masih ingat betul di kepala saya, ketika berulangkali Budi 'mempresentasikan' kegelisahannya tentang 'Jagad Mental'nya di depan saya ketika di Arena dulu...Wah abot tenan!!!! Tapi, Budi Saat Ini bukan lagi Budi Saat Lalu. Ini pula yang nampaknya ramai dibicarakan dalam obrolan di tenda2 kopi malam2 di Jakarta, juga penuh menghiasai milis 'curhat-curhatan' temen2 Jogja.

Oza kini adalah salah satu Editor di RM Books, sebuah anak perusahaan Jawa Pos Groups untuk bidang perbukuan. Pekerjaannya nampaknya sangat menjanjikan. Dalam obrolan kecil bersama nyonya Budi=Eva, aku menangkap keterpanaan Eva pada sosok Budi saat ini, menepis keraguannya akan kesangggupan Budi untuk bergelut dnegan kehidupan 'normal' di Jakarta. Eva bercerita bahwa ia ingat betul saat pertama kali Budi bekerja di tempat kerjanya sekarang. Satu minggu bekerja dan Budi terjatuh sakit. Bukan karena kecapekan, tapi karena Budi tak lagi sanggup bertarung dengan intrik2 di tempat kerjanya. Teman 'makan' teman, sikut kiri sikut kanan. Tapi, tuntutan hidup (apalagi Eva belum bekerja) membuat Budi melakukan 'Revolusi' dalam dirinya. Yah, perubahan memanga keniscayaan ketika kita harus dipertemukan dengan hidup yang selalu dinamis. Kalopun tak bisa atau tak mau mengikutinya, terlindaslah dia...(tul kan??)

Namun, Budi tetaplah Budi...yang memang selalu berusaha merawat kegelisahannya. Masih menurut Belek, di tengah kepadatan aktivitasnya saat ini, dia sesekali masih menyempatkan diri bergabung dan bermain teater di daerah Tangerang. Wah...Akang Budi, meski dideru kemacetan Ibukota...bukan berarti memacetkan kegelisahanmu...So, pak Budi, kemanakan sang Garodea kan kau ajak terbang????

with love, yunes : 10:19 PM

0comment

Post a Comment



Ibu Tiri tak Sekejam Ibukota!!!!
Tepatnya sudah 14 hari atau hampir sebulan lah aku di Jakarte...banyak orang bilang 'kota impian'; tapi pasti berbeda banget ya ma narasi di akhir film Pretty Women : This is Hollywood where your dreams could come true...

Jakarta emang kota impian bagi sebagian orang tentunya, karena nyatanya aku tak pernah bermimpi atau bahkan merenda mimpi untuk hanya sekedar menghabiskan sedikit banyak waktuku di Jakarta. Tapi, inilah kenyataannya. Jakarta yang selalu kuhindari, ternyata malah memilihku untuk bergelut sepanjang hari bersamanya...OK, lah..tak ada pilihan!!! Hanya, memang sulit sekali menemukan ritme hidup di jakarta, palagi bagi orang 'ndeso' sepertiku yang selalu hidup tenang dan menghirup kesegaran pagi di Palagan. Juga karena aku, meski berwawasan global, tapi tetep bergerak di lokal, ha..ha..ha..

Tapi ternyata, hidup di Jakarta tidak sesulit yang aku bayangkan. Benar kata Belek, teman kecilku, aku hanya butuh "menemukan ritmenya aja"; atau udin, temen arena, yang selalu bilang "hidup di Jakarta, bukan bagaimana Jakarta menyesuaikan ritme kita, tapi kitalah yang harus menyesuaikan ritme Jakarta." Atau Malik, temen CRCSku yang sekarang bekerja di AMAN sesi Indonesia di Jakarta, yang selalu berucap "bumi inilah tempat tinggal kita (ya..iya lah!!), so, kita bisa pulang kemana saja! jangan pernah kamu berpikir bahwa pulang adalah berjalan menuju tempatmu dilahirkan, karena akan terasa berat ketika kau harus meninggalkannya, so..anggaplah semua tempat yang kau singgahi sebagai tempatmu pulang, ini akan lebih menyenangkan!" Ok kawan, tentu sulit untuk awalnya, tapi lambat laun... aku berusaha memahaminya.

Begitulah, hingga akhirnya aku mulai sedikit bisa bernafas di tengah panas dan macetnya ibukota. Tentu, bukan karena aku bernafas naturally, tapi akulah yang membuat diriku bernafas...he..he..he...

with love, yunes : 9:48 PM

0comment

Post a Comment













About Us

YI'm Yuyun Sunesti
YZainal Anwar's wife
YHome: Sleman Jogja

Previous Posts
Archives
Chit-Chat



Links
Supported By