-
...................................................

Tuesday, May 29, 2007

Melbourne, Never Sleep City...

April 16, 2007
Tibalah di kota Melbourne yang terlihat sangat indah dari udara pada pukul 10.10 am. Kami telah dijemput oleh Mr. Philip Knight, penanggung jawab program Exchange kami di Melbourne, yang juga salah satu pewawancara dalam tes interview September tahun lalu di Paramadina Jakarta.

Pertama menginjakkan kaki di Melbourne, kami disambut dengan udara yang sangat dingin. Australia saat ini sedang Autumn (musim gugur), baru akan masuk musim dingin yang diperkirakan jatuh pada bulan Juni (Bagaimana dinginnya Juni nanti, di musim gugur saja kami sudah sangat kedinginan!!!).

Perjalanan dengan mobil dari bandara menuju penginapan memakan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang jalan yang kami temukan toko-toko dan pabrik yang sama sekali tidak menjulang tinggi seperti Jakarta. Hanya, kami tidak menemukan pohon-pohon hijau seperti di Indonesia. Pak Philip menjelaskan bahwa Australia saat ini memang sedang mengalami kekeringan yang cukup mengancam. Sekitar sepuluh tahun terakhir, kekeringan menjadi masalah serius bagi pemerintah Australia. Tak heran jika harga-harga makanan, terutama sayuran dan buah-buahan segar selalu naik tajam tiap tahun. Tidak itu saja, kebijakan untuk memanfaatkan airpun diatur sedemikian rupa. Mencuci mobil dan menyirami tanaman hanya diperbolehkan sekali seminggu, yakni hanya diakhir pekan, atau sabtu malam—tidak hanya di Melbourne kebijakan ini diterapkan, Canberra juga mendapat kebijakan yang sama ketika kami berbincang dengan guide kami Mr. John Monfries di Canberra di perjalanan kami selanjutnya. Yang kami salut adalah kepatuhan akan peraturan sangat melekat pada warga Australia. Saya tidak bisa membayangkan apakah peraturan seperti itu juga akan ditaati oleh orang-orang di Indonesia jika kondisi kemarau yang sama dialami Indonesia.

Lagi-lagi, kami hanya mengangguk salut lagi ketika pak Philip menjelaskan bagaimana hukum sangat kuat dan menindak siapapun yang melanggar di Australia. Pak John menjelaskan bahwa tetangga kanan kiri rumah kita tidak bisa seenaknya diajak kongkalikong dengan kita, tetangga bisa menjadi polisi hukum bagi kita yang melanggar. Contoh ini sebagaimana dialami tetangganya yang tiba-tiba didatangi polisi dan kena denda besar karena menyiram tanaman di luar waktu yang ditentukan. Tentu saja, tetangganyalah yang melaporkan.

Waktu telah menunjukkan sekitar jam 12 ketika akhirnya kita sampai di Unilodge Student Apartement, Apartemen mahasiswa RMIT yang terlerak di depan National Library of Victoria, semacam perpustakaan pemerintah (mungkin kita biasanya menyebutnya Pepursda—namun, jangan samakan perpusda sana dengan yang ini, karena sama sekali sangat berbeda, fasilitas apalagi jumlah bukunya. Segera saja kami menuju kamar kami yang terletak di lantai 9 no 720. Sebuah ruangan dengan 3 kamar tidur, satu kamar mandi, kursi tamu+TV, dan dapur kecil dengan fasilitas lengkap serta meja makan.

Schedule kami yang pertama pukul 19.30 menghadiri Interfaith Women Conference, namun pak Philip berjanji akan mengajak kami keluar pukul 3 pm mengenal Melbourne di sore hari. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Pak Philip telah menunggu kami di lobby. Maklum, tanpa kunci di tangan, siapapun tidak bisa mengakses pintu masuk apartemen, apalagi kamar. Bahkan, pada malam hari pintu masuk ke lobi yang berada paling luar gedungpun otomatis terkunci.

Berjalan sedikit ke perempatan kampus RMIT, kami menunggu trams yang akan membawa kami berkeliling Melbourne. Beberapa trams lewat, pak Philip belum juga mencoba naik. Hingga berhentilah sebuah trams merah tua bertuliskan City Central dan melewati 16 universitas. Ternyata trams ini adalah trams fasilitas umum alias disediakan pemerintah dengan cuma-cuma alias gratis. Hampir satu jam kami melihat-lihat indahnya sore Melbourne di atas trams. Kami melewati Yarra River, stasiun Radio SBS, dan masih banyak lagi. Hingga sampailah kami di temmpat kami naik di perempatan RMIT. Bergegas kami kembali ke apartemen, karena jam telah menunjukkan pukul 5.30 pm, dan kami harus bersiap-siap ke acara pertama kami nanti malam.

Waktu menunjukkan pukul 6.30 pm, ketika telepon di kamar kami tiba-tiba berdering. Di seberang terdengar suara perempuan dan memperkenalkan diri bernama Brynna, guide kami malam ini. Ia telah menanti kami di lobi. Lima menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di lobi dari kamar kami. Berempat kami siap mendatangi pertemuan pertama kami. Sembari menanti trams yang datang, Malam ini kita akan menaiki trams yang tidak lagi gratis. Untung saja, sebelum berpisah sore tadi, pak Philip telah membagi-bagikan Metcard (tiket trams) yang sebagian telah terpakai kepada kami. Sialnya, saya kelupaan tidak membawa tiketnya malam ini. Tiket berada di saku jaket, sementara malam ini saya telah berganti jas. It’s OK, kata Brynna. Ia mencari-cari recehan di tasnya, tapi tak ketemu. Aku kemudian memberinya uang 50 dolar saya untuk membayar tiket. Brynna berkata kalau uang 50 dolar terlalu besar untuk membayar tiket yang hanya 3 dolar. Akhirnya, Brynna memasukkan metcardnya kembali. Dengan bahasa Indonesianya yang fasih, dia berucap, “kartuku ini sudah expired (metcard hanya bisa digunakan 10 kali, dan ketika Brynna memasukkan metcardnya yang telah terisi 10, otomatis metcard langsung tertulis EXPIRED). Jadi, kalau nanti ada yang mengontrol, bilang aja kamu gak tahu kalo kartu kamu dah expired.” Ohya, Brynna adalah warganegara Australia, namun ia menghabiskan masa kecilnya di Jember, mengikuti ibunya yang guru bahasa Inggris di sebuah universitas. Namun, meski bahasa Indonesianya fasih, Brynna mengatakan lebih enak memakai bahasa Inggris kalau di Australia. Tapi, untuk beberapa hal yang bersifat rahasia, seperti di trams tadi, Brynna akan bicara pada kami dengan bahasa Indonesia. Biar gak ketahuan! Brynna telah menikah dengan Rowan, Indo-Australia, yang kini menetap di Asutralia. Ayah Australia dan ibu Padang. Namun ia menghabiskan hampir separuh hidup pertamanya di Indonesia, hingga ia kuliah di The University of Melbourne sampai sekarang, bekerja bersama Brynna sebagai asisten Abdullah Saeed.

Kami naik trams hanya sekitar 10 menit, kemudian diteruskan dengan berjalan kaki hampir setengah jam, karena trams tidak melewati tempat konferensi. Lumayan pegel juga kaki ini. Di tambah lagi, model berjalan orang Australia yang seperti selalu diburu waktu. Jadilah, kami berjalan ala Brynna yang cepat sambil terengah-engah. Hingga sampailah kami di sebuah rumah kecil bernama “The Grove Wholistic Centre for Spirituality” di 263 Nicholson St, East Brunswick. Seorang perempuan Jerman berjilbab yang kemudian kami tahu bernama (kok lupa!) membukakan pintu setelah kami menekan bel dua kali. Sepi langsung menyambut kami. Benarkah ada konferensi perempuan? Hingga kami dibawa masuk ke ruang paling belakang. Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar dan telah dipenuhi oleh perempuan. Mayoritas perempuan tua, kami hanya menemukan 2 perempuan muda, yang satu berjilbab bernama Daaliyah asal Pakistan dan satunya perempuan sangat muda asal Indonesia bernama Nadia Asikin yang tengah mengambil kuliah S1 di Universitas Melbourne.

Bayangan kami akan sebuah konferensi formal di sebuah gedung besar ternyata salah. Pertemuan saat ini di ruangan yang tak terlalu besar dan dihadiri mayoritas perempuan-perempuan tua. Namun, inilah yang kemudian membuatku sangat acungkan jempol. Pada akhirnya, aku membandingkan pertemuan ini layaknya pengajian ibu-ibu di daerahku atau bahkan di Indonesia. Persamaannya pada anggota dan ketidakformalan tadi. Namun bedanya, sangat banyak. Pertama, peserta berasal dari 3 agama (Abrahamic Religon—Christianity, Islam and Judaism). Kedua, seluruh peserta adalah peserta aktif. Tidak seperti pengajian ibu-ibu di desa yang hanya mendengarkan ceramah dari sang ustad. Pengajian ini, mewajibkan seluruh peserta untuk mempresentasikan hasil bacaan mereka dari buku-buku yang mereka baca di rumah, jumlah bukunya suka-suka. Ketiga, topik yang dibicarakan bebas sesuai dengan buku yang dibaca. Mulai topik-topik berat seperti buku berjudul New Under the Sun: Jewish Australians on Religion, Politics and Culture, edited by Michael Fagenblat, Melanie Landau, and Nathan Cuoldi. Atau buku-buku tentang powerful women seperti Strong Women Stories: Native Vision and Community Survival, Edited by Kim Anderson and Donita Lawrence. Buku yang berbicara tentang seorang laki-laki yang mencari makna dalam hidupnya Man’s search for Meaning karangan Victor E. Frankl, atau yang berbicara tentang pengalaman keberagamaan seperti I believe in…Christian, Jewish and Muslim Young People Speak about their Faith, edited by Paul Gaskins, atau sedikit normatif seperti The Interfaith Prayer Book. Atau bahkan buku-buku ringan pendorong motivasi seperti Today I will…100 ways to make your life calm and creative. Semua antusias membagi hasil bacaan mereka di forum. Setelah semua selesai membagi hasil bacaan mereka, diskusi—lebih tepatnya bincang-bincang santai—dilanjutkan dengan saling bercerita tentang joke-joke yang popular di agamanya masing-masing. Di akhir acara, kita disuguhi makanan-makanan kecil khas Australia yang super legit dan buah-buahan. Nyam…nyam..nyam…

Jam menunjukkan pukul 11.30 pm ketika kami sadar perut belum terisi sejak lunch tadi siang. Padahal waktu dinner harusnya pukul 7 pm tadi. So, setelah berpamitan dengan tuan rumah akhirnya kami berjalan kaki menuju rumah Brynna untuk kemudian bermobil kita menuju restoran India untuk dinner. Ohya, sepanjang perjalanan dengan jalan kaki tadi menuju rumah Brynna, kita disuguhi pemandnagan yang gak bakal ditemui di Indonesia. Bagaimana nggak, sepanjang jalan yang kami lalui, mobil-mobil, dari lumayan kinclong sampai yang biasa berjejer rapi di luar rumah. Kebayang kalo itu terjadi di Indonesia, sudah digondol maling kali ya…(lihat aja di infotainment, gimana banyak artis yang mobilnya ilang di garasi yang terkunci???). Nah, habis dari restoran India, kita langsung balik ke apartement untuk istirahat menunggu hari esok di Melbourne…

with love, yunes : 9:37 PM

2comment

yun, ndi oleh2e..oleh2e niayah aja wis tekan kok, sandal hawai hehe

dari: Blogger isma;--- June 13, 2007 at 7:24 PM

Mbak Yun...ga cuma Aussie yg banyak mobil berjejeran rapi tak tersentuh pencuri.Egypt jg gitu!Tapi Aussie kaya'nya lebih keren dibanding Egypt. Hehe...baca tulisan mbak Yun ttg Aussie udah bisa ngebayangin. Pasti indah !!!

dari: Blogger Cah Mbelink's;--- June 14, 2007 at 11:16 AM

Post a Comment



Aussie...I'm Coming!!!
Aussie..I'm Coming!!!!

Dengan menempuh sekitar 7,5 jam dari Jakarta dengan Penerbangan QF 42 pukul 19.55 WIB, kita tiba di kota Sidney sekitar pukul 6.45 AM waktu Australia. Kurangnya pengalaman akan prosedur kedatangan di negeri orang, membuat kami sedikit mengalami masalah dengan ribetnya prosedur imigrasi.

Seharusnya, sesuai dengan tiket yang telah ada di tangan, pukul 7.30 AM kita sudah harus menaiki pesawat QANTAS menuju Melbourne, kota pertama yang harus kita singgahi, dari 3 kota yang telah direncanakan: Melbourne, Canberra, dan Sidney. Namun, antrian panjang dimeja imigrasi membuat kami tak yakin akan bisa mengejar pesawat tersebut.

Jam telah menunjukkan pukul 7.20 menit ketika akhirnya kita memutuskan untuk menerobos antrian (hal yang sama sekali tak lazim untuk kota seteratur Australia nampaknya) dan mengambil posisi terdepan dalam urutan kedatangan untuk melapor ke Imigrasi. Kepanikan tiba-tiba saja menyeruak kami, ketika pihak imigrasi ternyata menyatakan kami berada di tempat yang salah. Karena tujuan kami ke Melbourne, maka sudah seharusnyalah kami melapor di Imigrasi Melbourne, bukan di Imigrasi Sidney. Petugas mengatakan bahwa kami harus secepatnya mencari petunjuk yang menyebut “International Transfer”, padahal jam telah menunjukkan pukul 7.25 AM, yang berarti kami hanya memiliki waktu 5 menit untuk check in.

Besar dan luasnya bandara Sidney membuat kami bertambah panik dan terasa lari kami tak berujung. Akhirnya kami menemukan tanda yang dimaksud. Untuk kedua kalinya, kami menerobos antrian di Screening International Transfer untuk mengejar pesawat. Sama sekali kami tidak mempedulikan apa yang ada dikepala orang-orang yang telah bersedia mengantri panjang, sementara kami begitu saja merebut urutan mereka.

Kepanikan semakin menjadi ketika petugas yang kami tanya tentang gate untuk pesawat kami menyatakan kami tak akan bisa mengejar pesawat tersebut. Kami berlari secepat mungkin, dan akhirnnya sampailah kami di gate 24 untuk pesawat menuju Melbourne. Dengan nafas yang masih terengah-engah, kami mencoba beristirahat dengan duduk di kursi tunggu. Sedikit kami ragu, apakah pesawat telah benar-benar berangkat, karena nampak orang-orang di ruang tunggu terlihat santai. Keraguan kami terjawab, ketika melalui speaker sound dinyatakan bahwa penerbangan dengan QANTAS menuju Melbourne akan dilakukan pada jam 9 AM. Kami sedikit terhenyak, antara bersyukur tak tertinggal, dan menertwakan kepanikan kami beberapa saat lalu.

Entah kami yang ‘katrok’ tak berpengalaman dengan penerbangan di negeri orang, atau pesawat yang juga suka telat seperti di negeri kita. Sepakat kami mengkambinghitamkan pesawat yang masih saja suka telat! Meskipun kembali kami keceli’ karena yang tertera di tiket departure 7.30 AM adalah menunjukkan boarding time. Sekali lagi kami tertawa terbahak menertawakan ke’katrok’an kami!

Waktu satu setengah jam kami gunakan untuk berjalan2 di sekitar bandara untuk mengenali awal akan tipikal Aussie, khususnya Sidney. Meskipun saya lebih memilih untuk duduk di ruang tunggu, karena saya butuh istirahat karena sebelumnya tenaga telah terkuras ketika kami berlarian panik beberapa saat lalu. Dua teman saya memilih untuk melihat-lihat toko2 souvenir di sekitar bandara, dan ‘ngenet’ gratisan di internet bandara. Hingga jam 9 AM tepat kami terbang ke Melbourne dengan memakan waktu sekitar 45 menit.

with love, yunes : 9:16 PM

0comment

Post a Comment



Saturday, May 5, 2007

Tiga Aktivis Muslimah Bicara Multikultural di Australia


Kesadaran masyarakat Australia yang sangat plural akan pentingnya ''hidup berdampingan secara damai'' terus tumbuh


CANBERA - Tiga aktivis perempuan Muslim Indonesia terlibat dalam diskusi mendalam dan terbuka tentang isu-isu Islam moderat dan multikulturalisme dengan para tokoh gereja, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi Australia selama kunjungan 15 hari mereka di tiga kota penting negara itu sejak 14 April lalu.

Ketiga aktivis yang mengikuti program pertukaran pemimpin pemuda Muslim Indonesia-Australia itu adalah Sekretaris Departemen Pendidikan dan Pengembangan PP Nasyiatul Aisyiyah, Anisia Kumala, Elfira DSiregar dari International Center for Islam and Pluralism (ICIP), dan Yuyun Sunesti (peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM).

"Kami bertemu dengan sejumlah tokoh gereja, lembaga swadaya masyarakat, multikulturalisme, dan akademisi Australia selama kunjungan kami di Melbourne dan Canberra, termasuk James Haire, tokoh penting persatuan gereja-gereja di Australia dan kawasan Asia Pasifik yang pernah terlibat aktif dalam proses perdamaian Muslim dan Kristen di Maluku," kata Anisia Kumala kepada ANTARA News di Canbera, Selasa.

Dari serangkaian dialog dengan beragam tokoh itu, terungkap satu keinginan bersama untuk terus mengampanyekan nilai-nilai universal dari agama-agama yang ada untuk memajukan kemanusiaan, solidaritas, dan pluralisme, kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu.

Aktivis ICIP, Elfira DSiregar, sependapat dengan Anisia Kumala. Menurut dia, selama kunjungan 15 hari yang akan berakhir di Sydney ini, pihaknya merasakan terjadinya dialog yang terbuka dan tulus, termasuk ketika membahas isu-isu sensitif seperti jaringan terorisme di Indonesia.

Mereka umumnya sepakat bahwa fenomena aksi kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang yang kebetulan beragama Islam itu sama sekali tidak terkait dengan Islam sebagai agama yang sangat toleran dan anti kekerasan, katanya.

Bahkan, James Haire menegaskan bahwa persekutuan gereja di Australia juga tidak mendukung pengiriman pasukan Australia ke Irak dan Afghanistan, kata anak Medan yang juga lulusan Fakultas Hukum UI itu.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Yuyun Sunesti, mengatakan, ia menangkap kesan kuat bahwa kesadaran masyarakat Australia yang sangat plural akan pentingnya "hidup berdampingan secara damai" terus tumbuh.

"Kesadaran masyarakat Australia akan pentingnya multikulturalisme sangat jelas terlihat. Bahkan kami sempat melihat bagaimana kaum ibu keturunan Yahudi melaksanakan kegiatan bedah buku dalam suasana yang santai dan terbuka," katanya.

Mereka merupakan rombongan ketiga dari empat rombongan peserta program pertukaran pemimpin pemuda Muslim Indonesia-Australia tahun ini. Program yang didukung Institut Australia-Indonesia (AII) pimpinan Chris Munn dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia ini sudah memasuki tahun ke empat.

Sejak beberapa tahun terakhir, Australia sangat giat dalam upaya peningkatan keharmonisan sosial dan kerja sama dengan komunitas Muslim di Australia dan masyarakat Muslim antarbangsa.

Perdana Menteri John Howard sendiri dalam sambutannya pada acara pembukaan Pertemuan Tokoh Muslim, 23 Agustus 2005, lalu menegaskan kembali komitmen negaranya pada keharmonisan sosial dan solusi damai terhadap perbedaan. Untuk mendukung upayanya itu, Pemerintah Australia menyokong terbentuknya Kelompok Rujukan Komunitas Muslim (Muslim Community Reference Group/MCRG).

Kelompok ini terdiri dari tujuh sub-kelompok yang bekerja untuk mendukung dialog dankerja sama antara pemerintah dan masyarakat Australia ugna memberdayakan rakyat negeri itu untuk menghadapi kekerasan, ekstrimisme, dan ketidakpedulian.

MCRG ini memfokuskan programnya pada upaya kerja sama dengan pemuda dan kaum wanita, pendidikan dan pelatihan para guru dan tokoh agama/masyarakat, masalah kependidikan, peningkatan ketenagakerjaan dan tempat kerja, peningkatan pengelolaan krisis, serta keluarga dan masyarakat.

(ant )
Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=291094&kat_id=147

with love, yunes : 11:40 PM

0comment

Post a Comment



Tiga Aktivis Muslimah Bicara Multikultural di Australia
Tiga Aktivis Muslimah Bicara Multikultural di Australia

Kesadaran masyarakat Australia yang sangat plural akan pentingnya ''hidup berdampingan secara damai'' terus tumbuh


CANBERA - Tiga aktivis perempuan Muslim Indonesia terlibat dalam diskusi mendalam dan terbuka tentang isu-isu Islam moderat dan multikulturalisme dengan para tokoh gereja, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi Australia selama kunjungan 15 hari mereka di tiga kota penting negara itu sejak 14 April lalu.

Ketiga aktivis yang mengikuti program pertukaran pemimpin pemuda Muslim Indonesia-Australia itu adalah Sekretaris Departemen Pendidikan dan Pengembangan PP Nasyiatul Aisyiyah, Anisia Kumala, Elfira DSiregar dari International Center for Islam and Pluralism (ICIP), dan Yuyun Sunesti (peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM).

Baca lebih lanjut di http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=291094&kat_id=147

with love, yunes : 11:04 PM

0comment

Post a Comment













About Us

YI'm Yuyun Sunesti
YZainal Anwar's wife
YHome: Sleman Jogja

Previous Posts
Archives
Chit-Chat



Links
Supported By